Minggu, 26 April 2015

Kebijakan SDA Struktur Penguasaan SDA

BIDANG-BIDANG SDA DAN KELEMBAGAAN  PENGELOLAAN
Bidang-bidang yang terkait dan melingkupi persoalan Sumber Daya Alam di Indonesia antara lain adalah:
Bidang Agraria yang telah diatur oleh UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok  Agraria;
  1. Bidang Pertambangan yang telah diatur oleh UU No. 11 Tahun 1967 tentang Pertambangan;
  2. Bidang Pengairan yang  telah diatur oleh UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air;
  3. Bidang Perikanan yang telah diatur  oleh UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan;
  4. Bidang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya yang  telah diatur oleh UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya;
  5. Bidang Kehutanan yang  telah diatur oleh UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Masing-masing bidang itu secara kelembagaan dikelola oleh lembaga-lembaga sektoral yang berada di lingkup departemen yang menangananinya diantaranya adalah: Departemen Dalam Negeri melalui Badan Pertanahan; Departemen Pertambangan dan Energi; Departemen Pekerjaan Umum; Departemen Perikanan dan Kelautan; dan Departemen Kehutanan.
  6. Padahal idealnya kelembagaan yang mengatur soal SDA tidak diatur dan dikelola secara sektoral namun dikelola secara terpadu di bawah koordinasi lembaga  yang memang berwenang untuk itu. Adapun lembaga yang dimaksudkan adalah Kementerian Lingkungan Hidup (Menteri Lingkungan Hidup). Hal ini sebagaimana amanat yang diatur di dalam UU. No 23/1997 Pasal 8 – 11. (Kenyataannya sampai hari ini persoalan SDA masih secara sektoral, oleh karena itu kemudian sekarang sedang diupayakan bahwa SDA dikelola secara terpadu dan diatur tidak lagi secara sektoral. DPRD sedang menggondok UU Pengelolaan SDA yang mengatur SDA secara terpadu)

KONDISI EMPIRIK SDA INDONESIA
Sumber daya alam (SDA) selain dapat dikategorikan dalam bentuk modal alam (natural resources stock) seperti daerah aliran sungai, danau, kawasan lindung, pesisir dan lain-lain. Juga dalam bentuk faktor produksi atau komoditas seperti kayu, rotan, air, mineral, ikan, dan lain-lain. Upaya pelestarian kedua kategori SDA tersebut sangat ditentukan oleh daya dukungnya, karena memiliki keterbatasan untuk menghasilkan komoditas secara berkelanjutan. Selain itu, SDA dapat dikategorisasi  menjadi SDA yang terbarukan dan tidak terbarukan, sehingga pemanfaatan SDA perlu ada perlakuan yang berbeda sesuai dengan karakteristiknya. Indonesia memiliki kekayaan SDA yang melimpah. Di sektor kelautan dan perikanan,  total garis pantai mencapai 81 ribu km. Total perairan darat seluas 0.55 juta km persegi, sedangkan total perairan laut seluas 5,8 juta km persegi. Potensi maksimum perikanan laut sebesar 6,7 sampai 7,7 juta metrik ton sedangkan untuk perikanan darat sebesar 3,6 juta metrik ton dan baru dapat dimanfaatkan sebesar 30 %. Terumbu karang di Indonesia mengandung lebih dari 70 genus dan merupakan salah satu negara yang mempunyai keragaman karang (coral) paling tinggi di dunia. Di sektor pertambangan, Indonesia memiliki sumber daya mineral yang cukup besar seperti emas, tembaga, perak, nikel, batubara, bauksit dan sebagainya. Saat ini Indonesia merupakan salah satu produsen emas, tembaga dan batubara terpenting di dunia. Produksi batubara Indonesia yang pada awal tahun 1970-an kurang dari 1 juta ton per tahun, pada akhir tahun 1990-an telah mencapai kurang lebih 80 juta ton per tahun. Produksi pertambangan yang lain seperti emas, tembaga, dan nikel juga meningkat dengan tajam. Dengan demikian, pertumbuhan produksi di bidang pertambangan merupakan sektor yang tertinggi dari seluruh industri primer dalam lima tahun terakhir. Kegiatan pertambangan yang dilakukan secara besar-besaran telah mengubah bentang alam yang selain merusak tanah juga  menghilangkan vegetasi yang berada di atasnya. Lahan-lahan bekas pertambangan membentuk kubangan-kubangan raksasa, sehingga hamparan tanah menjadi gersang dan bersifat asam akibat limbah tailing dan batuan limbah yang dihasilkan dari kegiatan pertambang-an. Dalam kurun waktu tiga dekade sejarah pertambangan banyak diwarnai konflik dengan masyarakat lokal karena ketidakpuasan unsur-unsur masyarakat di daerah. Salah satu penyebabnya adalah sistem perijinan pertambangan yang dikelola secara tersentralisasi, sehingga menciptakan ketidakadilan bagi masyarakat adat/lokal. Manajemen pertambangan yang sentralistis juga menimbulkan benturan kepentingan antara pertambangan dengan sektor lain. Wilayah pertambangan yang diberikan kepada para investor melalui sistem kontrak karya (KK) sebagian besar terletak dalam kawasan hutan lindung atau bahkan dalam kawasan taman nasional, sehingga menimbulkan kerusakan kawasan hutan dan taman nasional.

Dalam kondisi krisis, pemerintah mengharapkan eksport pertambangan di pasar global akan menambah pendapatan negara dan menstabilkan nilai tukar asing serta mengontrol defisit. Namun dari pengelolaan pertambangan di Indonesia saat ini, akan sukar untuk mengandalkan industri pertambangan yang eksis saat ini. Peningkatan pendapatan negara hanya akan terjadi jika industri yang ada saat ini meningkatkan produksi atau profit. Artinya, akan terjadi berbagai implikasi yang terkait dengan lingkungan. Peningkatan aktifitas pertambangan tentunya akan menambah kerusakan lingkungan yang sudah terjadi sebelumnya akibat eksploitasi pertambangan yang berlebihan. Pertambangan skala kecil hanya akan memberi input pencemaran lingkungan dibandingkan hasilnya. Kesulitan monitoring dan lemahnya pengaturan untuk pertambangan skala kecil ini akan mempercepat kerusakan lingkungan. Selain itu juga dengan adanya pemotongan budget di setiap departemen akan berimplikasi pada monitoring aktifitas pertambangan serta penegakan hukum yang mengabaikan aspek lingkungan.

Untuk sumber daya hutan, hutan tropis Indonesia sejak tahun 1967 telah dieksploitasi untuk meningkatkan pendapatan dan menghasilkan devisa negara, sehingga laju kerusakan hutan di Indonesia mencapai 1,8 juta hektar per tahunnya. Kawasan hutan yang sudah ditebang oleh para pemegang HPH mengalami kerusakan mencapai 55 % atau hampir mencapai 23 juta hektar. Selain itu, kerusakan hutan juga terjadi di kawasan hutan konservasi, sehingga Indonesia yang dikenal sebagai negara yang memiliki keanekaragaman hayati terkaya di dunia, yaitu 10 ribu jenis tumbuh-tumbuhan, 1500 jenis burung, 500 jenis mamalia, 21 jenis reptil, 65 jenis ikan air tawar, pada satu dekade terakhir ini terancam semakin punah. Kebakaran hutan tahun 1997-1998 akibat pembukaan lahan (konversi hutan) untuk perkebunan besar kelapa sawit dengan cara bakar, mencapai hampir 5 ha luas hutan dengan kerugian ekonomi sebesar US $8 milyar.

Di Sumatra, total penurunan luas kawasan hutan dari 23 juta ha menjadi 16 juta ha di mana Sumatera Selatan dan Jambi tercatat sebagai wilayah yang tercepat penurunan luas hutannya. Di Kalimantan, total penurunan luas kawasan hutan dari 40 juta ha menjadi 30 juta ha, di mana Kalimantan Timur memiliki tingkat konversi hutan tertinggi.  Sedangkan di Sulawesi laju penurunan luas hutan tergolong rendah, namun lebih karena konversi hutan sudah dilakukan pada pertengahan tahun 1980-an. Dari 3 pulau, yaitu Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi, dari kurang lebih 69 juta ha luas hutan, saat ini hanya sekitar 57 juta ha. Artinya terjadi pengurangan kawasan hutan lebih dari 12 juta ha. Menurut World Bank (2000), jika pengelolaan sumber daya hutan tidak berubah, maka Sumatra akan kehilangan hutannya pada tahun 2005 dan Kalimantan 2010.
Kondisi kehutanan semakin memprihatinkan, ketika ditemukan bahwa dari US$51.5 milyar utang swasta, ternyata US$4.1 milyar adalah utang industri kehutanan, dimana US$2.7 milyar masuk ke dalam kelas nonperforming. Di sektor perikanan, hampir 70 % terumbu karang mengalami rusak berat akibat endapan erosi, pengambilan batu karang, penangkapan ikan dengan menggunakan bom atau racun, dan pencemaran laut oleh limbah industri. Dari total hutan mangrove seluas 3 juta hektar, hanya terdapat 36 % yang hidup dalam kondisi baik. Sedangkan sisanya telah mengalami kerusakan yang serius akibat penebangan untuk kayu bakar dan telah dikonversi menjadi tambak. Di bawah UU No. 22 Tahun 1999, Menteri Kehutanan dilanjutkan kewenangannya untuk mengelola  seluruh kawasan lindung seperti taman nasional, cagar alam, suaka margasatwa dan kawasan buru. Pemerintah daerah dilibatkan dalam alokasi dan pengelolaan kawasan hutan lainnya, seperti daerah resapan air dan perlindungan hutan, hutan produksi dan kawasan lindung terbatas untuk konservasi, seperi taman hutan raya dan taman wisata.

Banyak kawasan lindung mencakup wilayah yang sangat luas, seperti TN. Lorentz luasnya 2,5 juta hektar, hampir 60% mencakup wilayah administrasi satu kabupaten. Dengan adanya desentralisasi, maka tanggung jawab pemeliharaan kawasan lindung tersebut ada pada pemerintah daerah. Persoalan di pemerintah daerah adalah menambah anggaran bagi biaya operasional kawasan tersebut.
Kegiatan pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya alam yang dilaksanakan sejauh ini belum didasarkan pada prinsip keadilan, keberlanjutan dan demokrasi, karena lebih diorientasikan untuk mengejar pertumbuhan ekonomi sehingga kurang memperhatikan kaidah-kaidah keadilan, pelestarian, konservasi, dan keberlanjutan fungsi sumber daya alam.
Persoalan lainnya adalah limbah industri dan limbah domestik (rumah tangga) serta penggunaan pestisida yang tidak terkendali telah menimbulkan pencemaran hampir seluruh sungai di Indonesia, terutama di Pulau Jawa. Menurut hasil penelitian yang dilakukan JICA, ternyata 73 % sumur penduduk telah terkontaminasi oleh zat kimia amoniak yang bersumber dari limbah industri. Tingkat konsentrasi pencemaran kimia juga terhitung tinggi di sebagian besar sumur penduduk, karena sekitar  13 % dari sumur-sumur  penduduk yang diperiksa di wilayah Jakarta Selatan mengandung zat kimia jenis merkuri, yang berasal dari bakteri coli dan amoniak dari limbah tinja, organo chloride dan organo phospor yang berasal dari pupuk kimia, detergen, pestisida, limbah  bahan beracun dan berbahaya (B3) dari industri.
Kondisi lingkungan seperti ini juga menyebabkan sebagian besar air sungai di Pulau Jawa menjadi tidak layak lagi diproses dan diproduksi menjadi air minum. Hasil pemantauan BAPEDAL terhadap kualitas air sungai memperlihatkan sebanyak 25-50% dari polutan yang mencemari air sungai ternyata berasal dari industri-industri yang membuang limbahnya ke sungai. Setiap tahun diperkirakan lebih dari 2,2 juta ton limbah B3 telah dibuang ke sungai-sungai di wilayah Jakarta dan Jawa Barat.

Sampai satu dekade ke depan, perekonomian Indonesia masih akan tergantung pada sektor sumber daya alam, seperti hutan, tambang, perikanan, dll yang tentunya akan menjadi peluang maupun risiko. Dalam situasi krisis ekonomi dan ketidakpastian politik serta banyaknya pelanggaran hukum, risiko yang mungkin terjadi dengan adanya desentralisasi di bidang sumber daya alam akan mempercepat penurunan kualitas lingkungan. Dengan adanya kewenangan baru yang diberikan kepada pemerintah daerah maka kecenderungannya pemerintah daerah mengabaikan atau akan lebih intensif meningkatkan pendapatan asli daerah tanpa melihat keseimbangan dan keamanan lingkungan. Kurangnya kapasitas teknis pengelolaan serta ketidakberpihakan pada kebutuhan masyarakat lokal akan akses sumber daya alam, kemungkinan besar akan mengakibatkan hilangnya sumber daya alam dan kerusakan dalam jangka panjang dan mungkin juga tidak dapat dipulihkan bagi kebutuhan dasar akan sumber daya alam daerah tersebut.
Berbagai kerusakan sumber daya alam dan pencemaran lingkungan hidup sebagaimana diuraikan di atas selain dipicu oleh kebijakan  pemanfaatan sumber daya alam yang bercorak sentralistik, juga karena  pendekatan yang digunakan bersifat sektoral. Kebijakan Pemerintah yang bercorak sentralistik dan pendekatan yang bersifat sektoral dalam pengelolaan sumber daya alam pada pokoknya memiliki kelemahan-kelemahan mendasar sebagai berikut:
  1. Orientasi produksi komoditas bersifat spesifik di setiap sektor (misalnya kayu dalam kehutanan, padi dalam pertanian). Pola ini tidak menghargai peran SDA sebagai fungsi publik misalnya hutan yang menjadi bagian penentuan kualitas dan keberlanjutan daerah aliran sungai. Semakin rendah keragaman pangan menyebabkan semakin rendah keamanan pangan. Secara inheren, pendekatan sektoral merupakan pendekatan reduksionis sehingga memiliki cacat bawaan karena ukuran kinerja pembangunan dirumuskan secara parsial. Dalam kondisi yang demikian, seandainya setiap sektor berhasil pun berbagai kebutuhan publik yang diperlukan seperti aspek lingkungan hidup, kebutuhan antar generasi, dan lain-lain. tidak akan mampu terpenuhi.
  2. Perwujudan efisiensi ekonomi lebih menonjol daripada equity yang berakibat minimnya perhatian terhadap penyelesaian masalah-masalah tenurial, terjadinya kesenjangan penyediaan infrastruktur ekonomi antar wilayah dan antar desa kota, dan rendahnya perhatian terhadap berbagai dampak negatif pembangunan terhadap sumber daya alam dan lingkungan hidup.
  3. Terdapat kecenderungan bahwa pelaksanaan otonomi daerah merupakan replikasi dari pendekatan sektor di daerah dengan orientasi pada peningkatan pendapatan asli daerah. Di sisi lain, pemerintah pusat yang memegang fungsi-fungsi pengendalian dengan kriteria, standar, dan pedoman yang ditetapkan secara sentralistik akan kehilangan sifat komprehensif, apabila fungsi-fungsi pengendalian tersebut didasarkan pada kepentingan masing-masing sektor.
  4. Pola ini makin diperburuk oleh kondisi di mana tidak terdapat  departemen yang mengkoordinasikan pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya alam, sehingga setiap departemen berjalan sesuai dengan visi sektoralnya masing-masing tanpa memperhatikan dan memperhitungkan pelestarian dan keberlanjutan fungsi sumber daya alam.
  5. Kebijakan hukum pengelolaan sumber daya alam yang bercorak sentralistik seperti yang digunakan sampai saat ini selain tidak memberikan perlindungan bagi kelestarian dan keberlanjutan fungsi sumber daya alam dan lingkungan hidup, juga kurang memberi ruang bagi akses, kepentingan, dan hak-hak masyarakat adat atas penguasaan, pemanfaatan, dan pengelolaan sumber daya alam.
  6. Implikasi dari kondisi-kondisi seperti diuraikan di atas dari segi  politis telah mengabaikan fakta pluralisme hukum dalam pengelolaan sumber daya alam; dari segi ekonomi menghilangkan sumber-sumber kehidupan masyarakat adat; dari segi  kehidupan sosial-budaya secara nyata telah merusak sistem pengetahuan, teknologi, institusi, tradisi, dan religi masyarakat adat; dan secara ekologi telah menimbulkan degradasi kuantitas maupun kualitas sumber daya alam; sehingga kemudian selain muncul konflik-konflik penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam, juga terjadi proses pemiskinan struktural dalam kehidupan masyarakat local.
Sumber: 
http://dwinofi.blogspot.com/2012/01/hukum-sumber-daya-alam.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar