Pilihan untuk menjadikan hukum adat sebagai dasar hukum agraria nasional
dilakukan mengingat UUPA dimaksudkan sebagai undang-undang yang
bersumber dari kesadaran hukum rakyat banyak. Dalam kenyataannya bagian
terbesar dari rakyat Indonesia tunduk pada hukum adat. Namun, UUPA
memandang bahwa hukum adat perlu disempurnakan karena dalam
perkembangannya tidak terlepas dari pengaruh kolonial yang kapitalistik
dan masyarakat swapraja yang feodal. Penyempurnaan hukum adat dilakukan
melalui penyesuaian dengan kepentingan masyarakat dalam konteks negara
moderen dan hubungan negara dengan dunia internasional serta sosialisme
Indonesia (penjelasan umum III angka 1).
Dalam kenyataannya, tanpa kriteria yang jelas, kepentingan bangsa dan
negara acapkali ditafsirkan sama dengan kepentingan beberapa kelompok
orang yang sedang memegang kekuasaan (pemerintah). Dengan
mengatasnamakan kepentingan bangsa dan negara maka hak-hak rakyat atas
sumber daya alam yang bersumber dari hukum adat sering diabaikan.
Hak-hak rakyat yang dalam bahasa UUPA dikatakan sebagai hak ulayat dan
hak serupa itu diberikan dalam konteks kesesuaiaannya dengan kepentingan
nasional dan kepentingan negara yang tidak terdefinisikan secara jelas
serta kesesuaiannya dengan peraturan perundang-undangan lain yang pada
kenyataannya justru mengingkari hak-hak masyarakat adat.
Meskipun UUPA memberikan pengakuan yang mendua pada masyarakat adat,
namun untuk perorangan warga negara Indonesia, cukup diberikan peluang
untuk mendapatkan hak individual atas tanah. Pasal 16 UUPA memberikan
berbagai peluang untuk menguasai tanah dengan berbagai alas hak: hak
milik, hak guna bangunan, hak guna usaha, hak pakai, hak sewa, dan
sebagainya.
UUPA menganut pandangan bahwa urusan agraria pada dasar-nya adalah
urusan pemerintah pusat. UUPA tidak mengatur secara rinci tentang
kewenangan dan peran pemerintah daerah. Kewenangan pemerintah daerah
adalah pelaksanaan dari tugas pembantuan.Pemerintah, atau lebih khusus
lagi pemerintah pusat menempati peran strategis dalam UUPA. Dengan
demikian dapat dipahami jika partisipasi publik tidak mendapat ruang
dalam undang-undang ini.
Penegakan hukum dalam UUPA utamanya diarahkan pada pelanggaran kewajiban
memelihara tanah dari para pemegang hak atas tanah, pendaftaran tanah,
pelanggaran berkaitan dengan hak milik adat, penggunaan tanah bukan oleh
pemilik, dan pelanggaran ketentuan peralihan hak atas tanah. UUPA tidak
memberikan penjelasan mengapa penegakan hukum hanya diberikan pada
hal-hal tersebut, tetapi tidak pada hal lain, seperti halnya pelanggaran
dalam prosedur pencabutan hak atas tanah atau tidak terpenuhinya
berbagai kewajiban pemerintah yang ditetapkan dalam UUPA.
2. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Pertambangan
Pemahaman tentang sumber daya alam dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun
1967 bersifat reduksionis. Sumber daya alam lebih banyak dilihat sebagai
komoditi. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang pertambangan
mengartikan sumber daya tambang sebagai bahan galian (unsur kimia,
mineral, biji dan batuan yang merupakan endapan alam) yang merupakan
kekayaan nasional yang dikuasai dan dipergunakan negara untuk kemakmuran
rakyat.
Selain pandangan reduksionis tentang sumber daya alam, Undang-undang
Nomor 11 Tahun 1967 lebih menitikberatkan perhatian pada eksploitasi
(use-oriented) dari pada kelestarian sumber daya tambang. Undang-undang
ini hanya memberikan satu pasal ini hanya memberikan satu pasal
perlindungan lingkungan dari kegiatan pertambangan. Pengaturan tersebut
bahkan hanya berlaku pada kegiatan pasca penambangan, dengan menyatakan
bahwa “apabila selesai melakukan penambangan bahan galian pada suatu
tempat pekerjaan, pemegang kuasa pertambangan yang bersangkutan
diwajibkan mengembalikan tanah sedemikian rupa sehingga tidak
menimbulkan bahaya penyakit atau bahaya lain bagi masyarakat
sekitarnya.” Dengan ketentuan semacam itu maka undang-undang ini kurang
memberi perhatian pada upaya konservasi sumber daya alam dan
lingkungannya.
Pemanfaatan sumber daya tambang diarahkan untuk meningkat-kan pendapatan
negara yang dilakukan dengan mengundang investor besar. Dengan demikian
undang-undang ini sarat dengan orientasi ekonomi dan kapital (economic
and capital oriented).Undang-undang pertambangan ini juga bersifat
sentralistik. Penguasan, pemanfaatan, dan pengusahaan serta perijinan
usaha pertambangan umum ditetapkan oleh pemerintah pusat (Menteri
Pertambangan). Pemerintah daerah hanya berhak melaksanakan penguasaan
negara dan mengatur usaha pertambangan untuk bahan galian golongan C
seperti pasir, kapur, belerang, dan lain-lain yang kurang bernilai
ekonomis tinggi. Sedangkan, bahan galian tambang golongan A dan B
seperti emas, tembaga, nikel, minyak dan gas bumi, batu bara, timah,
bauksit, dan lain-lain menjadi bagian dari kewenangan pemerintah pusat.
Dengan semangat sentralistik itu pula maka tidak ada ruang bagi
pengaturan mengenai partisipasi publik dalam proses pengambilan
keputusan dan pembuatan kebijakan pengelolaan sumber daya tambang.
Kontrol publikpun dalam pengelolaan sumber daya tambang sejak awal tidak
diatur dalam undang-undang ini. Masyarakat terutama yang berdiam di
wilayah yang akan dilakukan kegiatan pertambangan tidak pernah diberi
informasi dan dimintakan persetujuan bagi rencana pemberian ijin
pertambangan. Hal ini mengabaikan satu prinsip penting dalam pengelolaan
sumber daya alam yang dikenal sebagai prior informed-consent principle.
Pengakuan pada hak-hak masyarakat adat diintegrasikan dalam pengaturan
tentang pertambangan rakyat. Undang-undang ini menafsirkan bahwa rakyat
setempat yang mengusahakan kegiatan pertambangan dipastikan sebagai
masyarakat yang terikat oleh hukum adat. Dalam kenyataannya, tidak semua
rakyat setempat adalah masyarakat adat, dan tidak semua pertambangan
rakyat dilakukan oleh masyarakat adat. Membatasi hak masyarakat adat
hanya pada pengelolaan tambang skala kecil (pertambangan rakyat)
merupakan wujud sikap diskriminatif pada masyarakat adat dalam
penguasaan dan pemanfaatan sumber daya tambang.
Implikasi pengaturan pengelolaan sumber daya tambang yang bercorak
sentralistik, sektoral, dan diskriminatif secara nyata menimbulkan
dampak negatif bagi ekologi dan lingkungan hidup. Operasi dari usaha
pertambangan menimbulkan kerusakan tanah, air, dan degradasi sumber daya
alam hayati. Pasal 30 yang mengatur kewajiban pengusaha untuk melakukan
reklamasi dan rehabilitasi ternyata bukan dimaksudkan sebagai upaya
untuk konservasi, reklamasi, rehabilitasi, atau mengembalikan fungsi
lingkungan hidup, tetapi hanya sekadar sebagai upaya untuk mencegah
kemungkinan timbulnya penyakit.
3. Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air
Air yang dimaksudkan dalam UU ini adalah semua air yang terdapat pada,
di atas, ataupun di bawah permukaan tanah, termasuk dalam pengertian ini
air permukaan, air tanah, air hujan, dan air laut yang berada di darat.
Meski tergolong relatif baru semangat yang ada di dalam UU ini adalah
penguasaan air beserta sumber-sumbernya termasuk kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya yang masih berpusat pada negara, semangat ini
kemudian mendorong munculnya semangat privatisasi air yang lebih
sekedar menguntungkan pihak swasta. Semangat privatisasi ini lebih
melihat air sebagai komoditas yang jelas-jelas bertentangan dengan UUD
1945, hak-hak masyarakat termasuk di dalamnya masyarakat adat tidak
diakomodatif.
Peran yang besar dari pemerintah itu sekaligus menunjukkan bahwa
pengelolaan sumber daya air bertumpu pada negara yang pelaksanaannya
dijalankan oleh pemerintah, baik pemerintah pusat maupun daerah.
4. Undang-undang Nomor tahun 2004 tentang Perikanan
Undang-undang Perikanan ini terdiri dari 17 bab dan 110 pasal yang pada
intinya mengatur dan meberikan landasan hukum bagi pengelolaan dan
pemanfaatan sumberdaya perikanan secara optimal dan berkelanjutan untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Salah satu aspek yang diatur
dalam UU ini adalah wilayah dan pengelolaan perikanan. Disebutkan bahwa
wilayah pengelolaan perikanan mencakup perairan Indonesia, Zona Ekonomi
Eksklusif Indonesia (ZEEI), dan sungai, danau, waduk, dan genangan air
lainnya yang dapat digunakan untuk kegiatan pembudidayaan ikan. Dilihat
dari sisi ini, cakupan UU ini sudah cukup memayungi semua kegiatan
perikanan yang ada sehingga semua kegiatan pengelolaan perikanan diatur
oleh UU ini. Selanjutnya juga disebutkan bahwa kegiatan pengelolaan
perikanan selain diatur oleh peraturan perundang-undangan yang ada juga
diselenggarakan berdasarkan peraturan standar internasional yang
diterima secara umum. Ciri sumberdaya perikanan adalah terbuka dan milik
bersama serta bersifat migratif. Dan, oleh kerja sama internasional
memegang peranan penting dan menentukan dalam pengelolaan sumberdaya
perikanan. Kerja sama internasional baik secara bilateral maupun
multilateral yang bersifat mengikat maupun sukarela akan menjadi dominan
dalam pengelolaan sumberdaya perikanan di masa mendatang.
Dengan dicantumkannya pasal ini yang merupakan ketentuan baru yang
sebelumnya tidak diatur dalam UU terdahulu maka UU Perikanan ini telah
mengakomodasi dengan baik masalah kerja sama internasional ini. Pasal
ini merupakan ketentuan penting yang menjadi bukti kesiapan Indonesia
dalam menghadapi berbagai kerja sama dan kompetisi internasional dalam
pengelolaan sumberdaya perikanan. Dengan demikian UU Perikanan telah
secara baik mengantisipasi berbagai kecenderungan yang berkembang dewasa
ini dalam dunia perikanan.
Aspek lain yang menarik dalam UU Perikanan ini adalah pengakuan akan
hukum-hukum adat, kearifan lokal dan peran serta masyarakat. Ketentuan
ini diatur dalam pasal 6 ayat (2). Ayat sebelumnya dalam pasal 6
tersebut menyebutkan bahwa pengelolaan perikanan dalam wilayah Republik
Indonesia dilakukan untuk tercapainya manfaat yang optimal dan
berkelanjutan, serta terjaminnya kelestarian sumberdaya ikan. Dari
pasal-pasal yang disebutkan tersebut tampak jelas bahwa konsepsi yang
melatarbelakangi pengelolaan perikanan di Indonesia sebagaimana yang
diatur dalam UU Perikanan ini adalah memakai prinsip-prinsip dari
sustainable development dalam arti yang sesungguhnya. Pada saat yang
sama UU Perikanan ini juga sangat berwawasan internasional dan
berdimensi lokal. Dilihat dari sisi ini UU Perikanan ini merupakan UU
yang sangat up to date dan beorientasi jauh ke depan mengikuti
perkembangan dan kecenderungan internasional yang ada.
UU Perikanan juga mengatur ketentuan tentang usaha perikanan. Disebutkan
bahwa usaha perikanan dilaksanakan dengan sistem bisnis perikanan yang
meliputi kegiatan pra-produksi, produksi, pengolahan, dan pemasaran.
Selanjutnya pasal-pasal lain dalam Bab Usaha Perikanan mengatur
penyelenggaraan pembinaan dan pengaturan izin bagi para pelaku usaha
perikanan. Satu hal yang menarik adalah bahwa UU Perikanan tidak hanya
mengatur aspek produksi tapi juga aspek pendukung lainnya seperti
pengolahan dan pemasaran. Dengan demikian pembinaan terhadap usaha
perikanan dilakukan secara bersama oleh instansi terkait.
Sebagaimana diketahui selama ini pembinaan terhadap aspek pengolahan dan
pemasaran dilaksanakan oleh instansi yang bertanggung jawab di bidang
perdagangan dan perindustrian yang terkadang kurang memiliki koordinasi
dan keterkaitan dengan instansi yang bertanggung jawab di bidang
pra-produksi dan produksi. Dengan adanya pengaturan ini maka diharapkan
adanya koordinasi yang lebih baik sehingga pembinaan dan pengembangan
usaha perikanan akan semakin tertata dengan baik dan menghasilkan sebuah
industri yang kuat dan tangguh. Selain mengatur usaha perikanan secara
keseluruhan UU Perikanan juga memberikan perhatian khusus terhadap
pemberdayaan nelayan dan pembudi daya ikan berskala kecil. Perhatian
khusus ini diwujudkan dalam pasal-pasal yang mengatur tanggung jawab
pemerintah untuk menyediakan skim kredit dan akses manajemen,
penyelenggaraan pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan bagi nelayan dan
pembudi daya ikan kecil. UU Perikanan juga mengatur usaha kemitraan
antara pengusaha perikanan dan kelompok-kelompok nelayan kecil dalam
suatu kerja sama yang menguntungkan. Di sisi lain, nelayan-nelayan kecil
pun diberikan akses yang sangat luas untuk menangkap dan mengelola
kegiatan perikanan di seluruh wilayah pengelolaan perikanan Indonesia.
Dilihat dari sisi ini tampak bahwa UU Perikanan disusun dengan semangat
pemerataan yang kuat namun tanpa mengorbankan pertumbuhan yang biasa
didapat dari kegiatan ekonomi berskala besar. Aspek ini penting untuk
dikedepankan agar pengalaman pahit dalam pengelolaan sumberdaya hutan
yang justru menimbulkan konflik-konflik sosial di masa lalu tidak
terulang. Hal ini karena ketentuan dan peraturan yang ada tidak secara
eksplisit dan spesifik memberikan perhatian dan komitmen bagi
pemberdayaan masyarakat dan usaha berskala kecil. Dengan pengaturan
sedemikian maka akan tercipta secara proporsional hak dan kewajiban
berbagai pelaku usaha perikanan sehingga manfaat yang setara diperoleh
para nelayan dan pembudidaya kecil maupun para pengusaha perikanan dari
kegiatan pengelolaan sumberdaya perikanan.
Selain dari aspek-aspek itu, UU Perikanan juga mengatur pengawasan dan
ketentuan peradilan lainnya.Hal yang penting diatur dalam aspek ini
adalah pembentukan pengadilan perikanan yang berada di lingkungan
peradilan umum. Dalam aspek ini juga diatur kegiatan penyidikan dalam
perkara tindak pidana yang ada dalam kewenangan Penyidik Pegawai Negeri
Sipil Perikanan, Perwira TNI AL, dan Pejabat Polisi Negara Republik
Indonesia, serta berbagai sanksi pidana bagi pihak yang melakukan
pelanggaran terhadap UU Perikanan ini.
Sebagaimana diketahui praktik illegal, unregulated, dan unreported (IUU)
atau pencurian ikan merupakan salah satu faktor yang menyebabkan
manfaat dari sumberdaya perikanan belum sepenuhnya dinikmati oleh
masyarakat Indonesia. Kegiatan ini telah membawa kerugian banyak kepada
negara, dan diperkirakan jumlah kerugian yang diakibatkan oleh IUU
sebesar 2-4 milliar dolar AS per tahun. Berbagai upaya telah banyak
dilakukan untuk memberantas kegiatan ini, namun karena legal means yang
ada belum cukup kuat dalam mengatur dan menangani kegiatan ini maka
penyelesaiannya berjalan sangat lamban dan bertele-tele. Di samping itu,
koordinasi antara instansi juga belum terjalin dengan baik dalam
penanganan masalah ini. Adanya ketentuan yang mengatur masalah ini
sebagaimana tercantum dalam UU Perikanan baik yang menyangkut kewenangan
instansi dalam penyidikan, pembentukan peradilan perikanan, dan sanksi
hukum yang cukup berat maka kini diharapkan penyelesaian kasus-kasus
pencurian ikan dapat ditangani lebih cepat dan tidak ada alasan lagi
bagi aparat hukum untuk berlindung di balik ketiadaan dan kekurangkuatan
landasan hukum. Dengan demikian kita mengharapkan kegiatan IUU dapat
ditekan seminimal mungkin dan ketersediaan sumberdaya perikanan
memberikan manfaat ekonomi yang lebih besar lagi bagi masyarakat dan
pemerintah.Meski UU ini cukup akomodatif dan visioner, namun sayang
bahwa pengaturannya masih bersifat sektoral
5. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber daya Alam Hayati dan Ekosistemnya
Penegasan tentang sifat keutuhan dan kesalingterkaitan sumber daya alam
tampak dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber
daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Undang-undang ini mengartikan sumber
daya alam hayati sebagai unsur-unsur hayati di alam yang terdiri dari
sumber daya alam nabati (tumbuhan) dan sumber daya alam hewani (satwa)
yang bersama dengan unsur non hayati di sekitarnya yang secara
keseluruhan membentuk ekosistem. Unsur-unsur dalam sumber daya alam
hayati dan ekosistemnya pada dasarnya saling tergantung antara satu
dengan yang lain dan saling mempengaruhi sehingga kerusakan dan
kepunahan salah satu unsur akan berakibat terganggunya ekosistem.
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 lebih banyak memusatkan perhatian pada
pengaturan tentang kelestarian sumber daya alam. Konservasi sumber daya
alam hayati dan ekosistemnya bertujuan mengusahakan terwujudnya
kelestarian sumber daya alam hayati serta keseimbangan ekosistem,
sehingga dapat mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan
mutu kehidupan manusia. Konservasi sumber daya alam dilakukan dengan
kegiatan perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan
keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemhya serta pemanfaatan
secara lestari sumber daya alam dan ekosistemnya.
Pasal 4 undang-undang ini menyebutkan bahwa konservasi sumber daya alam
hayati dan ekosistemnya merupakan tanggung-jawab dan kewajiban
pemerintah serta masyarakat. Namun, bagian terbesar dari isi
undang-undang berkaitan dengan dominasi peran pemerintah. Pengaturan
tentang peran masyarakat diberikan dalam Bab IX Pasal 37. Peran serta
rakyat dalam konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya
diarahkan dan digerakkan oleh pemerintah melalui berbagai kegiatan yang
berdaya guna dan berhasil guna (Pasal 37 ayat (1)). Dengan pengertian
demikian, maka peran serta yang dimaksud bukan partisipasi sejati dari
rakyat (genuine public participation) melainkan mobilisasi yang
dilakukan pemerintah pada rakyat.
Peran pemerintah sangat besar dalam kegiatan-kegiatan konservasi sumber
daya alam hayati dan ekosistemnya. Pemerintah menetapkan wilayah
tertentu sebagai wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan;
menetapkan pola dasar pembinaan wilayah perlindungan dan sistem
penyangga kehidupan; menetapkan pengaturan cara pemanfaatan wilayah
perlindungan sistem penyangga kehidupan; mengatur dan menertibkan
penggunaan dan pengelolaan tanah dan hak pengusahaan di perairan yang
terletak dalam wilayah perlindungan dan sistem penyangga kehidupan;
menetapkan dan mengelola kawasan suaka alam (cagar alam dan suaka
margasatwa) dan pelestarian alam (taman nasional, taman hutan raya dan
taman wisata alam). Dengan besarnya peran pemerintah itu maka ruang bagi
masyarakat adat melakukan kegiatan konservasi sumber daya alam hampir
tidak ada. Undang-undang ini tidak menyebutkan sedikitpun pengaturan
tentang masyarakat adat, meskipun masyarakat adat di berbagai tempat
mempunyai pranata, pengetahuan dan pengalaman konservasi sumber daya
alam.
Peran pemerintah dalam konservasi sumber daya alam dan ekosistemnya
dipahami sebagai konsekuensi dari penguasaan negara pada sumber daya
alam (penjelasan Pasal 16 ayat (1) dan Pasal 34 ayat (1)). Karena
itulah maka hak masyarakat adat tidak mendapat tempat yang memadai.
Undang-undang ini bahkan lebih memilih menyerahkan pengelolaan zona
pemanfaatan taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata alam
melalui pemberian hak pengusahaan kepada koperasi, badan usaha milik
negara, perusahaan swasta dan perorangan.
Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dalam pandangan
undang-undang ini adalah urusan negara yang kemudian dilaksanakan oleh
pemerintah pusat. Pemerintah daerah hanya dapat menjalankan urusan ini
jika mendapat pendelegasian wewenang ataupun menjalankannya sebagai
tugas pembantuan dari pemerintah pusat. Meskipun memberi porsi besar
bagi pemerintah pusat, tidak ada penjelasan tentang unsur pemerintahan
mana yang bertanggung-jawab secara kelembagaan untuk menjalankan
undang-undang ini. Karena itu tidak ditemukan kegiatan konservasi sumber
daya alam hayati yang terpadu, karena masing-masing lembaga
menginter-pretasikan sendiri mengenai konservasi ini sesuai dengan
dasar-dasar kebijakannya yang bersifat sektoral.
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 ini sarat mengatur hak negara tetapi
tidak banyak memberikan pengaturan tentang hak rakyat, apalagi dalam
konteks pengakuan hak asasi manusia. Pengaturan yang diberikan kepada
rakyat semata-mata berkaitan dengan kewajiban dan larangan-larangan yang
diancam dengan hukuman pidana.
6. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 mendefinsikan hutan sebagai kesatuan
ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang
didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya yang satu
dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Sumber daya hutan dengan demikian
tidak dilihat sebagai sekumpulan komoditi tetapi juga ekosistem yang
unsur-unsurnya saling terkait.
Penyelenggaraan kehutanan disebutkan berasaskan pada manfaat dan
lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan, dan
keterpaduan. Asas manfaat dan lestari dimaksudkan agar setiap
pelaksanaan penyelenggaraan kehutanan memperhatikan keseimbang-an dan
kelestarian unsur lingkungan, sosial-budaya dan ekonomi. Pengejawantahan
asas itu kemudian dilakukan dengan mengalokasi-kan kawasan hutan sesuai
fungsinya menjadi hutan lindung, hutan produksi, dan hutan konservasi.
Secara khusus diatur pula tentang perlindungan hutan dan konservasi
alam. Pengaturan ini dimaksud-kan untuk menjaga agar fungsi hutan tetap
lestari. Oleh karena itu, Undang-Undang ini merinci berbagai perbuatan
yang dianggap memberi kontribusi pada kerusakan fungsi hutan, menetapkan
larangan-larangan serta mekanisme penegakan hukumnya.
Negara yang dalam hal ini ditafsirkan sebagai pemerintah memegang peran
penting dalam penguasaan dan pengelolaan sumber daya hutan. Pasal 4
menyebutkan bahwa semua hutan termasuk kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Penguasaan hutan oleh negara memberikan wewenang kepada pemerintah
(pusat) untuk mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan
hutan, kawasan hutan dan hasil hutan; menetapkan status wilayah
tertentu sebagai kawasan hutan; mengatur dan menetapkan
hubungan-hubungan hukum antara orang dengan hutan serta perbuatan hukum
mengenai kehutanan. Pengurusan hutan meliputi kegiatan perencanaan
kehutanan, pengelolaan hutan, penelitian dan pengembangan, pendidikan
dan latihan, penyuluhan kehutanan serta pengawasan. Dengan demikian,
pemerintah berfungsi sebagai pengatur, pengalokasi, pemberi izin,
perencana, pengelola, peneliti, pendidik, penyuluh sekaligus pengawas.
Pereduksian negara menjadi pemerintah dalam konteks hak menguasai sumber
daya hutan bertentangan dengan UUPA. Hak menguasai negara menurut UUPA
bisa dilimpahkan kepada daerah swatantra dan masyarakat hukum adat
tertentu. Dengan peran yang besar dari pemerintah itu maka paradigma
pengelolan sumber daya alam yang berpusat pada negara (state-based
forest management) tetap dipegang oleh undang-undang ini. Kalaupun
masyarakat mendapat peran maka peran itu hanyalah pelengkap. Hal ini
merupakan konsekuensi dari penerapan paradigma pengelolaan sumber daya
alam oleh negara yang menempatkan pemerintah dalam posisi sentral dan
menentukan. Sebaliknya, paradigma pengelolaan sumber daya alam oleh
masyarakat (community-based forest management) menjadikan masyarakat
sebagai pelaku utama dalam pengelolaan hutan, sedangkan pemerintah hanya
berperan sebagai fasilitator dan administrator untuk mendukung proses
tersebut.
Perwujudan lain dari paradigma pengelolaan hutan oleh negara dalam
undang-undang ini tampak jelas dalam pengaturan tentang masyarakat adat.
Hal ini dimulai dari ketentuan yang tidak mengakui adanya hutan adat
sebagai hutan berdasarkan statusnya. Undang-undang ini hanya mengakui
hutan negara dan hutan hak sebagai hutan berdasarkan statusnya.
Sedangkan, hutan adat dinyatakan sebagai bagian dari hutan negara yang
berada dalam wilayah dan dikelola oleh masyarakat adat. Karena itu,
hak-hak masyarakat adat atas sumber daya hutan diposisikan sebagai
bagian dari hak negara. Hutan adat ditetapkan pemerintah sepanjang dalam
kenyataannya masyarakat hukum adat masih ada dan diakui keberadaannya.
Pengukuhan keberadaan dan hapusnya hak masyarakat adat ditetapkan dengan
Peraturan Daerah yang disusun dengan mempertimbangkan hasil penelitian
para pakar hukum adat, aspirasi masyarakat dan tokoh adat serta instansi
terkait.
Ketentuan yang sifatnya birokratik dan sangat mengandalkan ilmu
pengetahuan dan teknologi ini berpotensi mengingkari keberadaan
masyarakat adat secara faktual, dan pada gilirannya kemudian mengingkari
hak masyarakat adat untuk mengidentifikasikan dirinya sendiri
(self-identification) dan hak menentukan kehidupannya sendiri
(self-determination). Undang-undang ini juga mengingkari hak asasi
masyarakat adat untuk memiliki sumber daya alamnya. Hak-hak masyarakat
adat yang diakui hanyalah hak memanfaatkan sumber daya alam dan
mengelola dalam skala terbatas untuk keperluan hidup sehari-hari.
Meskipun memberi batasan pada hak masyarakat adat, Undang-undang Nomor
41 Tahun 1999 memberi ruang cukup besar pada peran publik untuk
berpartisipasi dalam penyelenggaraan kehutanan. Peran serta masyarakat
diatur dalam sebuah bab tersendiri yang menyebutkan antara lain hak
masyarakat memanfaatkan hutan dan hasil hutan, mengetahui rencana
peruntukan hutan, pemanfaatan hasil hutan dan informasi kehutanan,
memberikan informasi dalam pembangunan kehutanan serta melakukan
pengawasan secara langsung atau tidak langsung. Selain itu, masyarakat
juga berhak mengajukan gugatan perwakilan (class action) terhadap
tindakan yang merusak hutan dan merugikan kehidupan masyarakat.
Undang-undang kehutanan ini belum mampu sepenuhnya menerjemahkan gagasan
hutan untuk kesejahteraan rakyat. Meskipun kata-kata rakyat atau
masyarakat banyak muncul, namun esensi pengelolaan hutan oleh masyarakat
belum terwujud. Selain peran besar yang dimiliki pemerintah (mayoritas
isi undang-undang mengatur pelaksanaan hak menguasai negara), pengaturan
sistem pengelolaan hutanpun tidak mendukung sistem pengelolaan oleh
masyarakat. Satuan pengelolaan hutan ditetapkan berdasarkan fungsi
(produksi, lindung dan konservasi), bukan berdasarkan satuan wilayah
sebagaimana dikenal masyarakat.
Kelembagaan pengelolaan hutan oleh masyarakat dianggap terwakili oleh
lembaga semacam koperasi. Koperasi dipandang sebagai satu-satunya
pilihan bagi masyarakat untuk mengembangkan perekonomiannya seperti
dipersepsikan oleh pemerintah. Karena itu, pengaturan seperti
ini secara nyata mengabaikan keberadaan institusi-institusi lokal atau
kelembagaan adat yang hidup dan berkembang dalam masyarakat adat/lokal.
Undang-undang ini juga tidak bisa diharapkan untuk menyelesaikan banyak
kasus-kasus konflik kehutanan terutama antara masyarakat adat/lokal da
antara masyarakat adat/lokal demegang konsesi kehutanan. Konflik-konflik
tersebut pada umumnya bersumber dari penguasaan atas wilayah masyarakat
adat/lokal yang di kemudian hari ditetapkan pemerintah sebagai kawasan
hutan. Proses penetapan kawasan hutan secara sepihak dengan tidak
melibatkan seluruh masyarakat, terutama masyarakat yang mempunyai hak
historis dan kultural pada kawasan hutan, merupakan akar konflik
kehutanan yang terjadi di berbagai daerah.
Undang-undang kehutanan ini justru memperteguh cara penetapan kawasan
hutan yang tidak adil dan tidak demokratis itu. Pasal 81 menyebutkan
bahwa kawasan hutan yang telah ditunjuk dan atau ditetapkan berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku sebelum undang-undang ini
dinyatakan tetap sah. Sementara itu, pada bagian menimbang butir c
disebutkan bahwa pengurusan hutan harus menampung dinamika aspirasi dan
peran serta masyarakat, adat dan budaya serta tata nilai masyarakat yang
berdasarkan pada norma hukum nasional.
Ketidakpuasan masyarakat adat pada proses penetapan kawasan hutan yang
acapkali berujung pada konflik adalah salah satu bentuk aspirasi
masyarakat dan pertentangan antara norma hukum nasional dengan
norma-norma hukum adat dan nilai-nilai budaya yang dianut masyarakat.
Dengan tetap diakuinya cara penunjukan dan penetapan kawasan hutan
seperti dimaksud dalam pasal-pasal Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999
berarti telah terjadi kontradiksi internal, karena mengingkari
pernyataan dalam butir c konsiderans undang-undang tersebut.
Semangat desentralisasi dalam undang-undang ini dimuat dalam Pasal 66.
Dalam rangka penyelenggaraan kehutanan pemerintah pusat menyerahkan
sebagian kewenangannya kepada pemerintah daerah. Namun kewenangan yang
diserahkan itu hanyalah kewenangan kebijakan yang bersifat operasional.
Kebijakan umum dan mendasar tetap dipegang pemerintah pusat. Pemerintah
daerahpun tidak terlibat dalam proses penyusunan kebijakan pusat.
Ketentuan tentang desentralisasi semacam ini bertentangan dengan
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 khususnya Pasal 7 ayat (1) dan Pasal
10 ayat (1).
Dari aspek kelembagaan, undang-undang ini memberikan kewenangan
terlampau luas kepada Departemen Kehutanan. Departemen Kehutanan
berwenang menetapkan status dan fungsi hutan. Khusus dalam penetapan
status hutan yang berkaitan dengan penguasaan tanah tidak ada satupun
ketentuan yang menyebutkan perlunya koordinasi antara Departemen
Kehutanan dengan Badan Pertanahan Nasional (BPN). Hal ini berpotensi
menimbulkan perebutan kewenangan dalam pengaturan mengenai lahan hutan
antar instansi pemerintah serta tumpang tindih pengaturan dalam wilayah
yang sama.
Penegakan hukum diatur cukup rinci dalam undang-undang ini. Sanksi yang
diberikan tidak hanya pidana tetapi juga perdata dan administratif.
Selain itu diatur juga tentang penyelesaian sengketa kehutanan yang
tidak hanya bisa dilakukan melalui pengadilan, tetapi juga upaya
penyelesaian sengketa kehutanan melalui jalur luar pengadilan
(alternative dispute resolution). Dari hasil kajian perundang-undangan
yang terkait dengan sumber daya alam dan lingkungan hidup di atas,
memiliki karakteristik dan kelemahan substansial seperti berikut:
- Undang-undang tersebut berorientasi pada eksploitasi (use-oriented) sehingga mengabaikan kepentingan konservasi dan keberlanjutan fungsi sumber daya alam, karena semata-mata digunakan sebagai perangkat hukum untuk mendukung pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan pendapatan dan devisa negara.
- Orientasi pengelolaan sumber daya alam lebih berpihak pada pemodal-pemodal besar, sehingga mengabaikan kepentingan dan akses atas sumber daya alam serta mematikan potensi-potensi perekonomian masyarakat lokal.
- Ideologi penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam berpusat pada Negara, sehingga pengelolaan sumber daya alam bercorak sentralistik.
- Implementasi pengelolaan yang dilakukan Pemerintah bersifat sektoral, sehingga sumber daya alam tidak dilihat sebagai sistem ekologi yang terintegrasi (ecosystem). Implikasinya, bangunan kelembagaan dalam pengelolaan sumber daya alam menjadi tidak terintegrasi dan tidak terkoordinasi antara sektor yang satu dengan sektor yang lain, sehingga setiap sektor cenderung berjalan sendiri-sendiri sesuai dengan visi sektornya masing-masing.
- Undang-undang tersebut tidak mengatur secara proporsional mengenai perlindungan hak-hak asasi manusia (HAM) dalam penguasaan, pemanfaatan, dan pengelolaan sumber daya alam.
Dalam perkembangan selanjutnya, setelah pemerintah menyadari adanya
kelemahan-kelemahan substansial tersebut, maka dilakukan
upaya-upaya*untuk membuat undang-undang dan atau meratifikasi konvensi
PBB yang berkaitan dengan sumber daya alam dan lingkungan hidup yang
lebih bercorak responsif. Hal ini dapat diindikasikan dari
diberlakukannya undang-undang seperti berikut:
- Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber daya Alam Hayati dan Ekosistemnya;
- Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang;
- Undang-undang Nomor 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan Konvensi PBB tentang Keanekaragaman Hayati, dan
- Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
Walaupun demikian, jika dicermati dari substansi perundang-undangan
tersebut di atas, maka masih ditemukan adanya kelemahan-kelemahan
substansial terutama dalam pengaturan mengenai hal-hal sebagai berikut :
- Peran Pemerintah yang masih mendominasi penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam (state-based resource management).
- Keterpaduan dan Koordinasi antar sektor dalam pengelolaan sumber daya alam yang masih lemah.
- Hak-hak masyarakat adat atas penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam yang belum diakui secara utuh.
- Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam yang masih terbatas.
- Transparansi dan demokratisasi dalam proses pengambilan keputusan yang belum diatur secara utuh.
- Akuntabilitas Pemerintah kepada publik dalam pengelolaan sumber daya alam yang belum diatur secara tegas.
Selain itu, jika dicermati dari perkembangan pembangunan hukum pada satu
dekade terakhir ini, setelah pemerintah meratifikasi Konvensi PBB
tentang Keanekaragaman Hayati menjadi Undang-undang Nomor 5 Tahun 1994
tentang Pengesahan Konvensi PBB tentang Keaneka-ragaman Hayati, dan
kemudian diberlakukannya (1) Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang
Hak-hak Asasi Manusia; dan (2) Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah, maka prinsip-prinsip penting yang mendukung
pengelolaan sumber daya alam yang adil, demokratis, dan berkelanjutan
belum diakomodasikan dan diintegrasikan ke dalam perundang-undangan
mengenai sumber daya alam dan lingkungan hidup yang telah ada.
Namun demikian, dalam perkembangan terakhir ada upaya untuk membuat arah
kebijakan bagi pengelolaan sumber daya alam sebagaimana termuat dalam
Ketetapan MPR RI Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan
Pengelolaan Sumber daya Alam. Persoalan pelik pengelolaan sumber daya
alam yang diricikan antara lain dari tumpang tindih kewenangan antar
sektor, ketidaksinkronan kebijakan, konflik, kerusakan sumber daya alam,
kemiskinan, dan ketidakadilan, dicoba untuk diselesaikan melalui
Ketetapan MPR RI Nomor 1X/MPR/2001. Ketetapan MPR ini berangkat dari
kesadaran bahwa pengelolaan sumber daya alam menimbulkan penurunan
kualitas lingkungan, ketimpangan struktur penguasaan, pemilikan,
penggunaan dan pemanfaatannya serta menimbulkan berbagai konflik. Oleh
karena itu perlu arah pengelolaan sumber daya alam yang mampu menjawab
semua persoalan tersebut. Ketetapan MPR RI Nomor IX/MPR/2001 diharap
memberikan arah yang dimaksud.
Ketetapan MPR RI Nomor IX/MPR/2001 merupakan landasan peraturan
perundang-undangan mengenai pembaruan agraria dan pengelolaan sumber
daya alam. Dengan ketentuan inilah maka Ketetapan MPR ini menyebutkan
pentingnya pengkajian ulang pada semua peraturan perundang-undangan
berkaitan dengan agraria/pengelolaan sumber daya alam. Atas dasar itulah
maka MPR menugaskan DPR bersama dengan Presiden untuk segera mengatur
lebih lanjut pelaksanaan pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya
alam serta mencabut, mengubah dan/atau mengganti semua undang-undang dan
peraturan pelaksanaannya yang tidak sejalan dengan Ketetapan MPR
tersebut (Pasal 6).
Sumber:
http://dwinofi.blogspot.com/2012/01/hukum-sumber-daya-alam.html
http://www.mongabay.co.id/2014/11/14/masyarakat-adat-vs-perusahaan-sawit-dominasi-konflik-sda-di-kalsel/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar